Di kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi lelaki dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi`ie dengan seorang wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini akhirnya dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie . Demikian nama lengkapnya sang bayi itu. Namun kebahagiaan keluarga miskin ini dengan kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama. Karena beberapa saat setelah kelahiran itu, terjadilah peristiwa menyedihkan, yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Bayi lelaki yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai anak yatim.
Sang ibu sangat menyayangi bayinya, sehingga anak
yatim Quraisy itu tumbuh sebagai bayi yang sehat. Maka ketika ia telah
berusia dua tahun, dibawalah oleh ibunya ke Makkah untuk tinggal di
tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib. Karena anak yatim
ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari keturunan seorang Shahabat
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang bernama Syafi’
bin As-Sa’ib. Dan As-Sa’ib ayahnya Syafi’, sempat tertawan dalam perang
Badr sebagai seorang musyrik kemudian
As-Sa’ib menebus dirinya dengan uang jaminan untuk
mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan setelah dia
dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Maka nasab bayi yatim ini secara lengkap adalah sebagai berikut:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin
Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin
Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin
Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin
Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib
bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara
kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam ,
bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan
anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah
bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama
Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab
yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani
Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang
melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66).
Di lingkungan Bani Al-Mutthalib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang
penuh vitalitas. Di usia kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan
memanah sehingga di kalangan teman sebayanya, dia amat jitu memanah.
Bahkan dari sepuluh anak panah yang dilemparkannya, sepuluh yang kena
sasaran, sehingga dia terkenal sebagai anak muda yang ahli memanah.
Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah sehingga ada seorang
ahli kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya. Dokter itu
menyatakan kepadanya: “Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat
dikuatirkan akan terkena penyakit luka pada paru-parumu karena engkau
terlalu banyak berdiri di bawah panas terik mata hari.”
Maka mulailah anak yatim ini mengurangi kegiatan panah memanah dan
mengisi waktu dengan belajar bahasa Arab dan menekuni bait-bait sya’ir
Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari Quraisy ini menjadi tokoh
dalam bahasa Arab dan sya’irnya dalam usia kanak-kanak. Di samping itu
dia juga menghafal Al-Qur’an, sehingga pada usia tujuh tahun telah
menghafal di luar kepala Al-Qur’an keseluruhannya.
Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq
Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah
menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar
fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin
khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga
belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga
menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih
ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin
Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol
dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai
halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas. Ia pun demi
kehausan ilmu, akhirnya berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah An
Nabawiyah guna belajar di halaqah Imam Malik bin Anas di sana. Di
majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan
cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ .
Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu
As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di
Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau menyatakan
kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal
berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah,
niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih
lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu
majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat
terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru
yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam
Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan
memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim
bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim
bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini
adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama
dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan
berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini
telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir
hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya
ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Ketika Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Mutthalibi
Al-Qurasyi telah berusia dua puluh tahun, dia sudah memiliki kedudukan
yang tinggi di kalangan Ulama’ di jamannya dalam berfatwa dan berbagai
ilmu yang berkisar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi beliau tidak mau
berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun berangkat
menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para Ulama’nya.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini
seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi
yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke
kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari
Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau
mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sejak di kota Baghdad, Imam Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie mulai dikerumuni para muridnya dan mulai menulis berbagai
keterangan agama. Juga beliau mulai membantah beberapa keterangan para
Imam ahli fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kitab fiqih dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitas beliau di
dunia Islam yang semakin luas menyebabkan banyak orang semakin kagum
dengan ilmunya sehingga orang pun berbondong-bondong mendatangi majelis
ilmu beliau untuk menimba ilmu. Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini
yang mendatangi majelis beliau untuk menimba ilmu padanya seperti Abu
Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau ini adalah salah seorang
guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ahmad bin
Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali), Sulaiman bin
Dawud Al-Hasyimi, Abu Ya’qub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin
Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul
Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ), Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir
oleh Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca
Al-Qur’an adalah makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan
bin Muhammad Az-Za’farani, Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih
banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang lainnya. Dari murid-murid beliau di
Baghdad, yang paling terkenal sangat mengagumi beliau adalah Imam Ahmad
bin Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam Hanbali.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Mizzi dengan sanadnya
bersambung kepada Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam
Hanbali). Beliau menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada ayahku:
<Wahai ayah, siapa sesungguhnya As-Syafi`ie itu, karena aku
terus-menerus mendengar ayah mendoakannya?> Maka ayahku menjawab:
<Wahai anakku, sesungguhnya As-Syafi`ie itu adalah bagaikan matahari
untuk dunia ini, dan ia juga sebagai kesejahteraan bagi sekalian
manusia. Maka silakan engkau cari, adakah orang yang seperti beliau
dalam dua fungsi ini (yakni fungsi sebagai matahari dan kesejahteraan)
dan adakah pengganti fungsi beliau tersebut?>.” Diriwayatkan pula
bahwa Sulaiman bin Al-Asy’ats menyatakan: “Aku melihat bahwa Ahmad bin
Hanbal tidaklah condong kepada seorangpun seperti condongnya kepada
As-Syafi`ie.” Al-Maimuni meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan:
“Aku tidak pernah meninggalkan doa kepada Allah di sepertiga terakhir
malam untuk enam orang. Salah satunya ialah untuk As-Syafi`ie.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam
Hanbali): “Pernah ayahku berjalan di samping keledai yang ditumpangi
Imam Syafi`ie untuk bertanya-tanya ilmu kepadanya. Maka melihat
demikian, Yahya bin Ma’ien sahabat ayahku mengirim orang untuk menegur
beliau. Yahya menyatakan kepadanya: <Wahai Aba Abdillah ( kuniah
bagi Imam Hanbali), mengapa engkau ridla untuk berjalan dengan
keledainya As-Syafi`ie?>. Maka ayah pun menyatakan kepada Yahya:
<Wahai Aba Zakaria ( kuniah bagi Yahya bin Ma’ien), seandainya engkau berjalan di sisi lain dari keledai itu, niscaya akan lebih bermanfaat bagimu>.”
Di samping Imam Hanbali yang sangat mengaguminya, juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya
dengan sanadnya dari Abu Tsaur. Dia menceritakan: “Abdurrahman bin
Mahdi pernah menulis surat kepada As-Syafi`ie, dan waktu itu As-Syafi`ie
masih muda belia. Dalam surat itu Abdurrahman meminta kepadanya untuk
menuliskan untuknya sebuah kitab yang terdapat padanya makna-makna Al
Qur’an, dan juga mengumpulkan berbagai macam tingkatan hadits,
keterangan tentang kedudukan ijma’ (kesepakatan Ulama’) sebagai hujjah /
dalil, keterangan hukum yang nasikh (yakni hukum yang menghapus hukum
lainnya) dan hukum yang mansukh (yakni hukum yang telah dihapus oleh
hukum yang lainnya), baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Maka As-Syafi`ie muda menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah dan kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman bin Mahdi. Begitu membaca kitab Ar-Risalah
ini, Abdurrahman menjadi sangat kagum dan sangat senang kepada
As-Syafi`ie sehingga beliau menyatakan: “Setiap aku shalat, aku selalu
mendoakan As-Syafi`ie.” Kitab Ar-Risalah karya Imam
Syafi`ie akhirnya menjadi kitab rujukan utama bagi para Ulama’ dalam
ilmu Ushul Fiqih sampai hari ini. Pujian para Ulama’ dan kekaguman
mereka bukan saja datang dari orang-orang yang seangkatan dengan beliau
dalam ilmu, akan tetapi datang pula pujian itu dari para Ulama’ yang
menjadi guru beliau. Antara lain ialah Sufyan bin Uyainah, salah seorang
guru beliau yang sangat dikaguminya. Sebaliknya Sufyan pun sangat
mengagumi Imam As-Syafi`ie, sampai diceritakan oleh Suwaid bin Saied
sebagai berikut: “Aku pernah duduk di majelis ilmunya Sufyan bin
Uyainah. As-Syafi`ie datang ke majelis itu, masuk sembari mengucapkan
salam dan langsung duduk untuk mendengarkan Sufyan yang sedang
menyampaikan ilmu. Waktu itu Sufyan sedang membaca sebuah hadits yang
sangat menyentuh hati. Betapa lembutnya hati beliau saat mendengar
hadits itu menyebabkan As-Syafi`ie mendadak pingsan. Orang-orang di
majelis itu menyangka bahwa As-Syafi`ie meninggal dunia sehingga
peristiwa ini dilaporkan kepada Sufyan: <Wahai Aba Muhammad (kuniah
bagi Sufyan bin Uyainah), Muhammad bin Idris telah meninggal dunia>.
Maka Sufyan pun menyatakan: <Bila memang dia meninggal dunia, maka
sungguh telah meninggal orang yang terbaik bagi ummat ini di
jamannya>.”
Demikian pujian para Ulama’ yang sebagiannya kami nukilkan dalam
tulisan ini untuk menggambarkan kepada para pembaca sekalian betapa
beliau sangat tinggi kedudukannya di kalangan para Ulama yang sejaman
dengannya. Apalagi tentunya para ulama’ yang sesudahnya.
Imam As-Syafi`ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun.
Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai beliau
wafat pada th. 204 H dan usia beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah
meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau tulis di
kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi`ie , berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Sebagaimana Al-Um , kumpulan riwayat keterangan Imam As Syafi`ie dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Ma’rifatul Aatsar was Sunan .
Al-Imam Abu Nu’aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan
pernyataan Imam As-Syafi`ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan
pendirian Imam As-Syafi`ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat
Abu Nu’aim tersebut kami nukilkan sebagai berikut :
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 109)
Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits.
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Sungguh seandainya
seseorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah
selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu
kalam.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 111)
Beliau menyatakan juga: “Seandainya manusia itu
mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya dia
akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan.”
Ini menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap
Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode
pembahasan ilmu filsafat. Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar As-Syafi`ie berkata:
“Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.” ((HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 113)
Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim Al-Asfahani bahwa
Al-Imam As-Syafi`ie telah mengkafirkan seorang tokoh ahli Ilmu Kalam
yang terkenal dengan nama Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan di
hadapan beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam
As-Syafi`ie dalam menilai mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu
makhluk. Dan memang para Ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah sepakat
untuk mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Al-Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan pula dengan sanadnya
dari Al-Buwaithie yang menyatakan: “Aku bertanya kepada As-Syafi`ie:
<Bolehkah aku shalat di belakang imam yang Rafidli?> Maka beliau
pun menjawabnya: <Jangan engkau shalat di belakang imam yang Rafidli,
ataupun Qadari ataupun Murji’ie>. Akupun bertanya lagi kepada
beliau: <Terangkan kepadaku tentang siapakah masing-masing dari
mereka itu?> Maka beliau pun menjawab: <Barang siapa yang
mengatakan bahwa iman itu hanya perkataan lisan dan hati belaka, maka
dia itu adalah murji’ie; barangsiapa yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan
Umar itu bukan Imamnya Muslimin, maka dia itu adalah rafidli.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa kehendak berbuat itu sepenuhnya dari
dirinya (yakni tidak meyakini bahwa kehendak berbuat itu diciptakan oleh
Allah ), maka dia itu adalah qadari>.”
Demikian Imam As-Syafi`i mengajarkan sikap terhadap
Ahlil Bid’ah seperti yang disebutkan contohnya dalam pernyataan beliau,
yaitu orang-orang yang mengikuti aliran Rafidlah yang di Indonesia
sering dinamakan Syi’ah. Aliran Syiah terkenal dengan sikap kebencian
mereka kepada para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam ,
khususnya Abu Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah, masih ada aliran
bid’ah lainnya seperti Qadariyah yaitu aliran pemahaman yang menolak
beriman kepada rukun iman yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya
taqdir Allah Ta`ala). Juga aliran Murji’ah yang menyatakan bahwa iman
itu hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari
iman. Murji’ah juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah dengan
perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan
kemaksiatan kepada Allah. Semua ini adalah pemikiran sesat, yang menjadi
alasan bagi Imam As-Syafi`ie untuk melarang orang shalat di belakang
imam yang berpandangan dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat
ini.
Imam As-Syafi`ie juga amat keras menganjurkan ummat Islam untuk jangan ber taqlid
(yakni mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga
meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang
diikutinya itu menyelisihi pendapat keduanya. Hal ini dinyatakan oleh
beliau dalam beberapa pesan sebagai berikut:
Al-Hafidh Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyah nya
dengan sanad yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal,
katanya: “Ayahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie berkata: <Wahai Aba Abdillah (yakni Ahmad bin Hanbal),
engkau lebih mengetahui hadits-hadits shahih dari kami. Maka bila ada
hadits yang shahih, beritahukanlah kepadaku sehingga aku akan bermadzhab
dengannya. Sama saja bagiku, apakah perawinya itu orang Kufah, ataukah
orang Basrah, ataukah orang Syam>.”
Demikianlah para Ulama’ bersikap tawadlu’ sebagai
kepribadian utama mereka. Sehingga tidak menjadi masalah bagi mereka
bila guru mengambil manfaat dari muridnya dan muridnya yang diambil
manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian menjadi congkak dengannya.
Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat dari gurunya,
meskipun sang guru mengakui di depan umum tentang ketinggian ilmu si
murid. Guru-guru utama Imam Asy Syafi`ie, Imam Malik dan Imam Sufyan bin
Uyainah, dengan terang-terangan mengakui keutamaan ilmu As-Syafi`ie.
Bahkan Imam Sufyan bin Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi`ie
saat Imam Syafi’ie ada di majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi`ie duduk di
majelis itu sebagai salah satu murid beliau, dan bersama para hadirin
yang lainnya, mereka selalu mengerumuni Imam Sufyan untuk menimba ilmu
daripadanya.
Tetapi meskipun demikian, Imam Syafi`ie tidak terpengaruh oleh
sanjungan gurunya. Beliau tetap mendatangi majelis gurunya dan
memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat penting pula dari
pernyataan Imam Asy-Syafi`ie kepada Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di
atas, menunjukkan kepada kita betapa kuatnya semangat beliau dalam
merujuk kepada hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab,
dari manapun hadits shahih itu berasal.
Imam Asy-Syafi`ie menyatakan pula: “Semua hadits yang dari Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.”
Demikian beliau memberikan patokan kepada para murid
beliau, bahwa hadits shahih itu adalah dalil yang sah bagi segala
pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari siapapun bila menyelisihi
hadits yang shahih, tentu tidak akan bisa menggugurkan hadits shahih
itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah yang harus digugurkan
dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya.
Biografi Imam Asy-Syafi`i Klik Disini
Artikel : Kisah Kehidupan Imam Asy-Syafi`i
sumber : wikipedia | samudrailmu
Biografi Imam Asy-Syafi`i Klik Disini
Artikel : Kisah Kehidupan Imam Asy-Syafi`i
sumber : wikipedia | samudrailmu
2 komentar
sangat bermanfaat, saya harap bisa lebih banyak lagi artikel2 seperti diatas agar semakin banyk ilmu yg bsa didapat mengenai sejarah islam.
izin copas
1. Tinggalkan komentar Anda, Kritik dan Saran sangat diterima disini. No SPAM..!! OK sob..
2. Untuk Anda yang ingin reques mengenai berbagai sejarah, bisa tinggalkan komentar dibawah, kami akan rangkumkan selengkap mungkin dari berbagai sumber yang ada.
Terimakasih jangan lupa untuk share dan Selamat Membaca.